Odi Anindito : Pencapaian Bagi Pebisnis Muda (Bagian -1)
Redaksi WK kali ini menurunkan tulisan khusus mengenai seorang Odi Anindito. Pengusaha muda asal Surabaya ini menapaki bisnis penuh lika-liku. Sebuah perjalanan yang sungguh unik bagi pembelajaran kewirausahaan di Indonesia. Tulisan berseri akan membuat anda terus kesetrum entrepreneur spirit setiap bulan.
Odi Anindito, muda, namun pintar berbisnis. Ia sedikit dari sekian anak muda Surabaya yang meyakini bahwa kemulyaan hidup dapat dicapai dengan berbisnis. Untuk menjadi pebisnis yang handal, kepiawaian kewirausahaan harus terus diasahnya. Founder serta Managing Director Coffee Toffee yang berusia 28 tahun ini memulai usaha di bidang dunia kopi dikarenakan kecintaannya terhadap minuman ini. Kecintaan yang sungguh membuatnya ia ingin berbisnis dari apa yang disukainya. Dari kecintaan minuman kopi inilah lahir ide-ide bisnis yang meluncur dari benaknya. Pembaca WK, anda saya ajak menelusuri jejak kehidupan Odi, panggilan akrab pria ini untuk memahami bagaimana ia menemukan ide dari sesuatu yang disukainya.
Siapa Odi
Odi Anindito, nama yang njawani, khas anak Surabaya. Latar belakang pendidikannya tidaklah begitu istimewa, bahkan boleh dibilang rata-rata. Meski demikian ia masuk di sekolah SLTP paling favorit di Surabaya, SMP 6 Surabaya. Prestasinya, terbilang lumayan. Selalu masuk tiga besar teratas. Karena prestasi akademik yang lumayan inilah Odi sering diikutkan dalam lomba – lomba akademik antar sekolah. Bahkan pada saat kelulusan SMP ia termasuk 10 besar nilai kelulusan pada saat itu. Setelah lulus SMP, ia meneruskan ke sebuah SMA favorit di Surabaya, SMA 2. Sekolah ini meski sekolah favorit namun dikenal juga tempat sekolahnya anak-anak badung. “Saya memang memilih masuk di sini karena saya menghindari disebut anak-anak pintar,’ ujarnya. Berbeda dengan saat sekolah di SMP, saat sekolah di SMA prestasi akademik Odi mulai menurun. Hal dikarenakan banyak sekali hal – hal yang menarik perhatiannya. Mulai dari menghabiskan waktu dengan teman – teman, kegiatan – kegiatan ekstra kurikuler yang banyak diikuti, sering bolos sekolah, dan yang menurut pengakuannya sangat signifikan ‘menjatuhkan’ nilainya adalah ia mulai tertarik dengan wanita, teman sekolahnya.
“Karena saya sudah pacaran sejak SMA, nilai pelajaran saya anjlok luar biasa,” akunya. Namun, seperti yang diakui Odi, prestasi akademiknya untuk ukuran di kelasnya tidaklah jelek-jelek amat. Tidak bisa dibilang bagus, tetapi jelek sekali juga tidak. Untuk beberapa mata pelajaran tertentu, seperti matematika dan bahasa inggris, bolehlah dibanggakan. “ Jika ada ujian bahasa inggris hampir dapat dipastikan semua teman – teman satu kelas akan berpusat pada lembar ujian saya dan setengah waktu dari ujian tersebut, lembar ujian saya sudah berjalan – jalan dari ujung ke ujung,” ujarnya bangga.
Memperbaiki Diri
Odi termasuk pria muda yang menyukai kompetisi. Suka tantangan. Meski bukan termasuk pelajar terbaik, tetapi saat menghadapi kenyataan bahwa nilai kelulusan SMA rendah telah membuatnya terhenyak. “Saat itu nilai kelulusan saya 46 dari 7 mata pelajaran. Rata-ratanya berarti hanya 6, sementara teman-teman saya yang lain rata-rata memiliki kelulusan diatas 50, atau rata-rata 8, “ ujar Odi mengenang. Hal inilah yang membuatnya bertekad untuk memperbaiki diri. Ia ingin membuktikannya saat akan memasuki ke jenjang universitas. “Saya benar –benar berkonsentrasi pada ujian penerimaan universitas dan saya tidak pernah membuang – buang waktu untuk mempersiapkan diri pada ujian tersebut,” ujarnya.
Akhirnya ia memang dapat diterima di salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia, yaitu ITS (Intitut Teknologi 10 November Surabaya, beberapa orang salah menyebutnya dengan Institut Teknologi Surabaya) pada jurusan dengan rating tertinggi, Informatika. Alasan mengapa ia memilih jurusan tersebut bukanlah sebuah pertimbangan panjang lebar yang memikirkan aspek – aspek masa depan, seperti peluang kerja ataupun hal – hal lainnya.
Pertimbangannya waktu itu adalah untuk pembuktian diri bahwa ia bisa. Dan saat itu ia bertanya, jurusan apakah yang paling sulit serta rating nomor satu di ITS. Banyak teman-teman menjawab, Teknik Informatika. “Saya buktikan, saya bisa masuk di Jurusan teknik Informatika, ITS,” ujar Odi.
Belajar dari Kehidupan
Saat menjadi mahasiswa, untunglah Odi termasuk orang yang cukup mudah beradaptasi sehingga ia dapat menyesuaikan dengan mata perkuliahan disana. Satu hal yang pasti yang dapat ia katakan mengenai apa yang dipelajari selama masa kuliah adalah di jurusan ini ia mulai banyak belajar mengenai logika serta bagaimana berinteraksi sosial.
Selama masa perkuliahan, tradisi prestasi akademik yang tidak terlalu bagus masih berlanjut. Nilainya masih pas-pasan. “Satu hal yang cukup membuat saya tersenyum sampai pada saat ini, karena saya kurang begitu ‘ahli’ dalam hal – hal teknis, seperti programming. Beberapa rekan dan dosen sering melihat hal ini sebagai kelemahan saya,” ujarnya. Namun Odi melihat bahwa hal itu bukanlah hal prinsip. Pada satu titik, pada kelas praktikum, tidak ada teman satu angkatan yang mau satu kelompok dengannya, karena hampir dapat dipastikan ia tidak akan memberikan peran dan sumbangsih apapun dalam kelompok praktikum tersebut. Istilah kata, hanya nebeng nama.
Hal ini tidak menyurutkan nyali Odi, atau membuatnya sakit hati. Ia justru memutuskan untuk membuat kelompok sendiri, dan anggotanya hanya ia sendiri. Namun apa yang terjadi. Ia justru dapat menyelesaikan praktikum ini dengan nilai yang cukup memuaskan, nilai A. “Dari sana saya melihat bahwa saya memang suka pada pembuktian diri serta mudah tertantang justru ketika saya disepelekan,” ujarnya. Itu juga berlaku ketika saat menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Diantara para dosen, menganggapnya ia kurang memiliki kemampuan programming. Karenanya ia disarankan untuk mengambil mata kuliah yang membutuhkan skill programming yang cukup tinggi serta mengambil dosen pembimbing yang terkenal cukup ‘killer’ di Jurusan Teknik Informatika, ITS.
Pada saat itu setiap mahasiwa yang mengambil dosen pembimbing tersebut dapat dipastikan membutuhkan waktu penyelesaian tugas akhir rata – rata 3 semester. Tetapi Odi mampu membuktikan bahwa ia dapat menyelesaikannya dalam satu semester serta lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, nilai AB.
Mencari Sudut Pandang Lain
Di tengah – tengah perkuliahannya yang memakan waktu cukup lama, kurang lebih 5 tahun, Odi memutuskan untuk mengambil cuti satu tahun serta mengambil diploma di Australia dengan major pendidikan ‘Small Business’ dan ‘International Business Marketing’. Dalam satu tahun ini Odi banyak belajar mengenai dunia luar. Ia banyak sekali belajar mengenai wawasan dan cara pandang international terhadap hidup dan bisnis. Dan menurutnya salah satu hal yang ia dapatkan dari mengambil diploma tersebut adalah adanya sebuah wawasan baru tentang self confidence.
“Kepercayaan diri saya melambung setelah saya menyelesaikan diploma saya, dan ini dapat dilihat dari orang – orang terdekat saya, mengenai bagaimana saya berbicara dan bagaimana saya mengemukakan pendapat saya,” ujarnya.
Pada satu tahun inilah, Odi belajar banyak mengenai dunia kopi serta nilai – nilai eksotisnya yang menarik minat dan rasa ingin tahunya sebegitu besarnya. “ Selama masa perkuliahannya ia memutuskan mengambil pekerjaan part time di salah satu local coffee shop di Melbourne. “Saya benar – benar buta mengenai dunia kopi saat itu dan rasa penasaran saya benar – benar sangat besar terhadap dunia baru tersebut,” ujar Odi.
Ingin mengetahui lebih banyak tentang Odi, dan bagaimana membangun bisnis Coffee Toffe, baca WK edisi Oktober. Jangan ketinggalan setrumnya, hanya di WK
Full Team PT Coffee Toffee Indonesia